Ir Ciputra Pengusaha
Sukses, Sebuah Inspirasi.
Profil dan Otobiografi
Singkat Ir. Ciputra
Ir. Ciputra (lahir di
Parigi, Sulawesi Tengah, 24 Agustus 1931; umur 77 tahun) adalah seorang
insinyur dan pengusaha di Indonesia. Ciputra menghabiskan masa kecil hingga
remajanya di sebuah desa terpencil di pojokan Sulawesi Utara. Begitu jauhnya
sehingga desa itu sudah nyaris berada di Sulawesi Tengah. Jauh dari Manado,
jauh pula dari Palu. Sejak kecil Ciputra sudah merasakan kesulitan dan
kepahitan hidup. Terutama saat bapaknya ditangkap dan diseret dihadapannya oleh
pasukan tak dikenal, dituduh sebagai mata-mata Belanda/ Jepang dan tidak pernah
kembali lagi (pada tahun 1944). Ketika remaja sekolah di SMP Frater Donbosco
Manado.
Ketika tamat SMA,
kira-kira saat dia berusia 17 tahun, dia meninggalkan desanya menuju Jawa,
lambang kemajuan saat itu. Dia ingin memasuki perguruan tinggi di Jawa. Maka,
masuklah dia ke ITB (Institut Teknologi Bandung). Keputusan Ciputra untuk
merantau ke Jawa tersebut merupakan salah satu momentum terpenting dalam
hidupnya yang pada akhirnya menjadikan Ciputra orang sukses. Keputusan Ciputra
untuk merantau ketika tamat SMA merupakan keputusan yang tepat, karena pada
usia tersebut muncul adanya keinginan untuk bebas yang disertai rasa tanggung
jawab pada diri individu. Ciputra adalah perantau yang sempurna. Dia
mendapatkan kebebasan, tapi juga memunculkan rasa tanggung jawab pada dirinya.
Bagi Ciputra,
perintis pengembang properti nasional sekaligus pembangun 20 kota satelit di
seluruh Indonesia, pengalaman hidup susah sejak kecil adalah pemicu
kesuksesannya. Ciputra yang lahir di Parigi, Sulawesi Tengah 77 tahun lalu,
harus merasakan kerasnya hidup sejak usia 12 tahun, tanpa ayah. Sang ayah
ditangkap tentara pendudukan Jepang dan akhirnya meninggal di penjara.
Sebagai bungsu dari 3
bersaudara, Ciputra kecil harus bergelut dengan berbagai pekerjaan untuk
mencari uang membantu sang ibu yang berjualan kue. Ciputra yang mengaku sangat
bandel dan nakal sejak kecil, juga harus berjalan kaki tanpa alas kaki sejauh 7
kilometer ke sekolah setiap hari. Kenakalan Ciputra terlihat dari sifatnya yang
seenaknya sendiri. Saat disuruh belajar bahasa Belanda, Jepang atau China, dia
malas. Dia hanya mau belajar bahasa yang dianggapnya akan berguna baginya,
yaitu bahasa Indonesia. Akibatnya, saat usia 12 tahun dia masih di kelas 2 SD
karena berkali-kali tinggal kelas.
Pasca ditinggal sang
ayah, barulah Ciputra bangkit dan mau belajar giat hingga selalu menjadi nomor
1 di sekolah. Kegemilangan prestasi Ciputra terus berlanjut hingga mampu
menamatkan kuliah di jurusan arsitektur ITB. Setelah lulus kuliah, jiwa
wirausaha Ciputra mengantarkannya menjadi raksasa pengembang properti di tanah
air lewat PT Pembangunan Jaya saat itu, dan akhirnya menjadi grup Ciputra. Dan
hingga kini, berbagai bangunan properti yang menghiasi wajah Jakarta, tak bisa
dilepaskan dari campur tangan seorang Ciputra.
CIPUTRA,
Pengusaha asal Sulawesi Tengah.
Ketika mula didirikan, PT Pembangunan Jaya
cuma dikelola oleh lima orang. Kantornya menumpang di sebuah kamar kerja Pemda
DKI Jakarta Raya. Kini, 20-an tahun kemudian, Pembangunan Jaya Group memiliki
sedikitnya 20 anak perusahaan dengan 14.000 karyawan. Namun, Ir. Ciputra, sang
pendiri, belum merasa sukses. ``Kalau sudah merasa berhasil, biasanya
kreativitas akan mandek,`` kata Dirut PT Pembangunan Jaya itu.
Ciputra memang hampir tidak pernah mandek.
Untuk melengkapi 11 unit fasilitas hiburan Taman Impian Jaya Ancol (TIJA),
Jakarta -- proyek usaha Jaya Group yang cukup menguntungkan -- telah dibangun
"Taman Impian Dunia". Di dalamnya termasuk "Dunia Fantasi",
"Dunia Dongeng", "Dunia Sejarah", "Dunia
Petualangan", dan "Dunia Harapan". Sekitar 137 ha areal TIJA
yang tersedia, karenanya, dinilai tidak memadai lagi. Sehingga, melalui
pengurukan laut (reklamasi) diharapkan dapat memperpanjang garis pantai Ancol
dari 3,5 km menjadi 10,5 km.
Masa kanak Ciputra sendiri cukup sengsara.
Lahir dengan nama Tjie Tjin Hoan di Parigi, Sulawesi Tengah, ia anak bungsu
dari tiga bersaudara. Dari usia enam sampai delapan tahun, Ci diasuh oleh
tante-tantenya yang "bengis". Ia selalu kebagian pekerjaan yang berat
atau menjijikkan, misalnya membersihkan tempat ludah. Tetapi, tiba menikmati es
gundul (hancuran es diberi sirop), tante-tantenyalah yang lebih dahulu mengecap
rasa manisnya. Belakangan, ia menilainya sebagai hikmah tersembunyi.
"Justru karena asuhan yang keras itu, jiwa dan pribadi saya seperti
digembleng," kata Ciputra.
Pada usia 12 tahun, Ciputra menjadi yatim.
Oleh tentara pendudukan Jepang, ayahnya, Tjie Siem Poe, dituduh anti-Jepang,
ditangkap, dan meninggal dalam penjara. "Lambaian tangan Ayah masih
terbayang di pelupuk mata, dan jerit Ibu tetap terngiang di telinga,"
tuturnya sendu. Sejak itu, ibunyalah yang mengasuhnya penuh kasih. Sejak itu
pula Ci harus bangun pagi- pagi untuk mengurus sapi piaraan, sebelum berangkat
ke sekolah -- dengan berjalan kaki sejauh 7 km. Mereka hidup dari penjualan kue
ibunya.
Atas jerih payah ibunya, Ciputra berhasil
masuk ke ITB dan memilih Jurusan Arsitektur. Pada tingkat IV, ia, bersama dua
temannya, mendirikan usaha konsultan arsitektur bangunan -- berkantor di sebuah
garasi. Saat itu, ia sudah menikahi Dian Sumeler, yang dikenalnya ketika masih
sekolah SMA di Manado. Setelah Ciputra meraih gelar insinyur, 1960, mereka
pindah ke Jakarta, tepatnya di Kebayoran Baru. ``Kami belum punya rumah. Kami
berpindah-pindah dari losmen ke losmen,`` tutur Nyonya Dian, ibu empat anak.
Tetapi dari sinilah awal sukses Ciputra.
Pada tahun 1997 terjadilah krisis ekonomi.
Krisis tersebut menimpa tiga group yang dipimpin Ciputra: Jaya Group,
Metropolitan Group, dan Ciputra Group. Namun dengan prinsip hidup yang kuat
Ciputra mampu melewati masa itu dengan baik. Ciputra selalu berprinsip bahwa
jika kita bekerja keras dan berbuat dengan benar, Tuhan pasti buka jalan. Dan
banyak mukjizat terjadi, seperti adanya kebijakan moneter dari pemerintah,
diskon bunga dari beberapa bank sehingga ia mendapat kesempatan untuk
merestrukturisasi utang-utangnya. Akhirnya ketiga group tersebut dapat bangkit
kembali dan kini Group Ciputra telah mampu melakukan ekspansi usaha di dalam
dan ke luar negeri.
Ciputra telah sukses melampaui semua orde;
orde lama, orde baru, maupun orde reformasi. Dia sukses membawa perusahaan
daerah maju, membawa perusahaan sesama koleganya maju, dan akhirnya juga
membawa perusahaan keluarganya sendiri maju. Dia sukses menjadi contoh
kehidupan sebagai seorang manusia. Memang, dia tidak menjadi konglomerat nomor
satu atau nomor dua di Indonesia, tapi dia adalah yang TERBAIK di bidangnya:
realestate.
Pada usianya yang ke-75, ketika akhirnya dia
harus memikirkan pengabdian masyarakat apa yang akan ia kembangkan, dia memilih
bidang pendidikan. Kemudian didirikanlah sekolah dan universitas Ciputra. Bukan
sekolah biasa. Sekolah ini menitikberatkan pada enterpreneurship. Dengan
sekolah kewirausahaan ini Ciputra ingin menyiapkan bangsa Indonesia menjadi
bangsa pengusaha.
Ir. Ciputra Menghadapi Krisis Ekonomi.
Keran KPR
yang mulai mengucur, membuat aktivitas PT Ciputra Development terdengar lagi.
Kelompok usaha ini semakin giat beriklan. Akankah Ciputra segera berjaya
kembali? Akibat krisis ekonomi yang melanda negeri ini, sebagaimana kebanyakan
pengusaha properti lainnya, Ciputra pun harus melewati masa krisis dengan
kepahitan. Padahal, serangkaian langkah penghematan telah dilakukan. Grup
Ciputa (GC), misalnya, terpaksa harus memangkas 7 ribu karyawannya, dan yang
tersisa cuma sekitar 35%.
Lantas, semua departemen perencanaan di
masing-masing anak perusahaan segera ditutup dan digantikan satu design center
yang bertugas memberikan servis desain kepada seluruh proyek. Jenjang komando 9
tingkat pun dipotong menjadi 5. Akibatnya, banyak manajer kehilangan pekerjaan.
Lebih pahit lagi: kantor pusat GC yang semula berada di Gedung Jaya, Thamrin,
Jakarta Pusat, terpaksa pindah ke Jl. Satrio -- kompleks perkantoran milik GC.
Paling tidak, dengan cara semacam itu, GC bisa menghemat Rp 4 miliar/tahun.
Sementara Harun dan tim keuangannya -- setelah
susut menjadi 7 orang dan gajinya dipotong hingga 40% -- hengkang ke salah satu
lantai Hotel Ciputra, Grogol, Jakarta Barat. Di tempat itu, mereka menyewa
beberapa ruangan. Selebihnya, kabar yang menjadi rahasia umum: utang GC macet
total.
Menurut Harun, para petinggi CD waktu itu
sadar betul kondisi yang ada tidak bakalan berubah secepat yang dibayangkan.
Soalnya, berlalunya krisis moneter yang belakangan bermetamorfosis menjadi
krisis multidimensional sejatinya berada di luar kendali mereka. Celah yang
masih terbuka hanyalah konsolidasi internal dan restrukturisasi perusahaan.
Maka, selain memangkas biaya operasional
secara drastis, CD pun segera menerapkan strategi pemasaran baru: menjual
kapling siap bangun. Kata Harun, selain CD kala itu hanya menyimpan sedikit
stok rumah siap huni, perubahan strategi pemasaran ini juga dilakukan untuk
membidik konsumen berkantong tebal. Maklumlah, mengharapkan KPR ibarat pungguk
merindukan bulan. Adapun yang tersisa, ya itu tadi, pasar kalangan kelas menengah-atas.
Mereka biasanya lebih suka membeli kapling karena dapat menentukan sendiri
desain rumahnya.
Keuntungan lain menjual kapling tanah:
berkurangnya biaya operasional. Masih menurut Harun, dengan menjual kapling
siap bangun, CD cuma berkewajiban menyediakan infrastruktur seperti telepon,
air, listrik dan jalan. Memang, ketimbang membangun rumah siap huni, biaya
penyediaan infrastruktur relatif jauh lebih murah. Dalam perhitungan Harun,
biaya yang dikeluarkan per m2-nya cuma Rp 90 ribu.
Sementara itu, bila membangun rumah siap huni,
CD mesti siap menerima kenyataan jika harga bahan-bahan bangunan meningkat
pesat. Besi, misalnya. Setelah kurs rupiah terhadap US$, harganya naik 60%.
Sementara semen dan keramik, masing-masing meningkat menjadi 40% dan 30%. Jadi,
"Tak ada alasan tidak menerapkan strategi itu," ujar Harun. Kebijakan
itu berlaku di Jakarta dan di Surabaya.
Guna mendukung strategi di atas,
program-program above the line juga tak luput dikoreksi. Hasilnya, dari
monitoring yang dilakukan, para petinggi CD akhirnya berkesimpulan, mubazir
bila beriklan gencar di masa krisis. "Seperti membunuh tikus dengan
memakai bom," jelas Harun. Alhasil, pilihan kemudian jatuh pada penjualan
langsung. Bahannya diolah dari database konsumen milik CD. Dan supaya lebih
terarah, database diolah lewat pembentukan klub-klub penjualan, di Jakarta
maupun Surabaya.
Namun, apa daya, meski harga kapling siap
bangun belum dinaikkan dan tim pemasaran bekerja sekeras mungkin, toh strategi
itu tidak langsung membuahkan hasil yang memuaskan. Lebih dari Tiga bulan,
konsumen yang tertarik dengan ratusan hektare tanah matang milik CD yang dijual
dalam bentuk kapling siap bangun -- dari total 1.800 har landbank (tanah
mentah) CD yang tersebar di Jakarta dan Surabaya -- bisa dihitung dengan jari.
Kata Harun, petinggi CD lagi-lagi sadar para
pemilik uang sesungguhnya lebih memilih mendepositokan uangnya ketimbang
membeli kaping siap bangun. Maka, "Tahun 1998 adalah tahun yang paling
sulit yang pernah dilalui CD," kenangnya. Masalahnya, uang yang masuk
selama setahun cuma Rp 40 miliar.
Itulah nilai total hasil penjualan lima proyek
perumahan di Jakarta dan Surabaya milik CD. Jelas, ketimbang tahun-tahun
sebelumnya, saat kondisi ekonomi masih normal, kenyataan tersebut benar-benar
menyakitkan. Sebelum krisis, dari satu proyek saja, CD bisa meraup uang
sebanyak Rp 10 miliar/bulan. Artinya, angka Rp 40 miliar tersebut biasanya
dicapai hanya dalam sebulan.
Yang lebih menyesakkan, menurut sumber SWA,
Pak Ci ikut-ikutan menambah beban psikologis pasukannya. Hampir setiap hari CEO
GC itu uring-uringan tanpa sebab yang jelas. Seingatnya,waktu itu Pak Ci jarang
bertanya kepada anak buahnya bagaimana sebenarnya kondisi di lapangan. "Ia
malah seperti tak habis-habisnya melakukan pressure kepada timnya," jelas
si sumber.
Dan lucunya lagi, bahkan di luar dugaan banyak
orang -- sang sumber sendiri kaget luar biasa -- Pak Ci sampai-sampai
"menodong" seorang pemuka agama agar jemaat gerejanya membeli kapling
siap bangun di salah satu proyek perumahan CD. "Benar-benar tidak masuk
akal," ungkap sumber. Benarkah? "Bohong. Kalau stres, siapa yang
tidak stres waktu itu," bantah Harun.
Untunglah, bersamaan turunnya suku bunga
deposito di awal 1999, strategi itu mulai menampakkan hasil. Kecil memang,
tapi, "Kami sudah mulai sibuk," ujar Harun. Ia menunjuk aktivitas
penjualan kapling siap bangun, khususnya yang di Surabaya. "Di kota ini,
penjualannya cukup bagus."
Sayang, Harun tak bersedia menyebutkan nilai
transaksi di Kota Buaya. Yang jelas, tidak seperti di Jakarta, jumlah item
kapling siap bangun yang ditawarkan CD di Surabaya lumayan variatif. Dari segi
luas contohnya, 1.200-2.000 m2 dengan harga jual minimal: Rp 600 ribu/meter2.
Selain itu, ada pula kapling golf -- posisinya berhadapan atau di sekitar
lapangan golf. "Kapling jenis ini, sekalipun lebih mahal, tampak paling
disukai," jelas Harun.
Bagaimana dengan Jakarta? Kendati kapling yang
dijual hanya berukuran 200-500 m2, angka penjualannya tidak sebagus di
Surabaya. Dan kapling yang disukai konsumen kebanyakan yang berukuran 400 m2
seharga Rp 225-500 ribu/m2. Menurut Harun, hal itu terjadi karena tingkat
persaingan di Jakarta lebih ketat ketimbang di Surabaya. Soalnya, "Ada
banyak proyek serupa di sini," ujarnya. Dan, yang lebih penting, kapling
golf bukanlah hal yang istimewa bagi banyak konsumen metropolitan. "Jadi,
penawaran kami sama seperti yang lain. Karena itu pula, bisa jadi konsumen
mencari yang lebih murah."
Seperti yang sudah-sudah, tutur menantu
Ciputra itu, kebutuhan konsumen di Jakarta sejatinya adalah rumah siap huni
yang dilengkapi fasilitas KPR. Karena itu, bermodalkan pendapatan hasil
penjualan kapling siap bangun plus tersedianya sarana KPR, CD pun mulai
menggiatkan pembangunan rumah siap huni, di Citra Raya Tangerang, Citra Indah
Jonggol, Citra Grand Cibubur ataupun Citra Cengkareng.
Bersamaan waktunya, CD pun kembali rajin
beriklan. Namun, tidak seperti tiga tahun lalu, kini belanja iklannya diatur
ketat. Indikator pertama yang dihitung sebelum mengeluarkan uang untuk
berpromosi di berbagai media cetak adalah jumlah total hari libur dalam setiap
bulan. Yang jelas, sebulan CD beriklan tak lebih dari tiga kali. "Bukan
apa-apa. Kami hanya ingin iklan itu bisa efektif mencapai sasaran,"
katanya. Ia menambahkan, klub-klub penjualan yang dulu sempat dibentuk tetap
diteruskan.
Hanya saja, lagi-lagi sayang, Harun mengaku
tidak ingat persis jumlah uang yang masuk ke kocek CD setelah perusahaan
properti yang dipimpinnya itu kembali rajin beriklan. Ia hanya mengatakan,
"Cash flow kami cukup aman." Ditambah semakin membaiknya daya beli
konsumen, Harun pun optimistis, CD dan GC bisa berkibar kembali. Namun, tentu
saja, ia mengaku, "Tidak seperti dulu lagi."
Cuplikan tentang Ir.Ciputra :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar